Awig-awig” Kearifan Lokal masyarakat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan untuk melestarikan Ekositem Laut



Makalah Ilmiah Sosial Budaya Pesisir



 “Awig-awig” Kearifan Lokal  masyarakat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan  untuk melestarikan Ekositem Laut
Disusun oleh:
Eri Sahabudin    115080601111025
Aditya Yanuar   115080601111039
Nurul Imami      115080601111025
Xxxxxxxxx xxx   115080601111025

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012



Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul ““Awig-awig” Kearifan Lokal  masyarakat Lombok Barat sebagai pengatur sistem perikanan  untuk melestarikan Ekositem Laut
Makalah ini berisikan tentang informasi Kearifan lokal masyarakat pesisir atau yang lebih khususnya membahas Awig awig yang merupakan kearifan masyarakat lombok barat, Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang sistem Sosial yang ada di masyarakat pesisir lombok.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.




                                   
                                                                                                                        Penulis




Latar belakang
Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Hak Ulayat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Kearifan lokal di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, misalnya : Kelong” Kearifan Lokal Nelayan Batam, “Panglima Laot”, Kearifan Lokal Nelayan Aceh , dan Awig – awigKearifan lokal Laut masyarakat Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kearifan lokal terdebut merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau orang luar.

Yang juga perlu disamakan pengertiannya adalah tentang masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.


Pengakuan Kearifan lokal Laut
Kearifan lokal merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang ”komunalistik”, religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan” (Boedi Harsono, 1997). Hak ulayat memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu:
1.  Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;
2.  Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas hak ulayat;
3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
                                            
Wilayah adat yang mereka diami merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.

Hak memiliki atau mengelola dari masyarakat adat menekankan pada 3 (tiga) elemen mendasar, yaitu:
1.   Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.
2.   Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.
3.   Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan/kebijakan negara yang berdampak pada nasib masyarakat itu sendiri.

Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut dan pesisir dengan kewenangan pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari pemerintah dan pembuat kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif dari masyarakat dan dorongan dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung masyarakat nelayan walaupun hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan, dan instrumen hukum lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya laut dan pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat, walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi. Salah satu keraifan lokal yang sangat menarik untuk di bahas yaitu kearifan lokal masyarakat Lombok Barat provinsi NTB yang di sebut dengan ‘Awig-awig”





Tujuan.
            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seperti apa kearipan lokal masyarakat Lombok Barat ”Awig- Awig” terutama dalam kaitanya dengan sistem pengoalhan perikanan dan perananya dalam menjaga ekosistem laut. Sehingga dengan pembentukan makalah ini diharapkan akan mampu menjelaskan tentang sistem sosial masyarakat pesisr yang memiliki suatu aturan sendiri dalam mempertahankan kearipan lokal yang dimiliki.
Rumusan masalah di m..


Pembahasan
1.    pengertian
Pengertian awig-awig adalah aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Awig-awig ini mengatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan saksi. Munculnya awig-awig yang berlaku di wilayah Lombok semakin kuat seiring dengan hadirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Seperti aturan-aturan lokal lainnya, di era sentralistik banyak sekali praktik-praktik tradisional pengelolaan perikanan yang mengalami kematian akibat homogenisasi hukum dan pemonopolian pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat. Akibatnya, keberadaan aturan-aturan lokal (hak ulayat) yang selama ini berlaku di masyarakat secara turun-menurun menjadi tidak lagi berfungsi dan mengalami degradasi, sehingga masyarakat yang merasa tidak dihargai oleh pemerintah banyak melakukan pembangkangan-pembangkangan terhadap hukum formal. Memudarnya kepercayaan masyarakat dan terjadinya pembangkangan terhadap hukum formal disebabkan oleh pemerintah itu sendiri yang tidak menegakkan hukum secara tegas.
2.    Latar Blakang munculnya awig-awig
Sementara itu adanya penguatan awig-awig dalam pengelolaan perikanan di daerah ini dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik. Adapun munculnya konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencarian), lingkungan politik legal, perubahan teknologi dan perubahan tingkat komersialisasi (pasar).
Dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan konflik di daerah pesisir, masyarakat Lombok Barat merasa terpanggil dan menyadari untuk mengadakan perbaikan sistem pengelolaan sumber daya. Oleh karena itu, dibentuklah awig-awig secara tertulis sebagai aturan main dalam pengelolaan perikanan demi menciptakan pembangunan pesisir yang berkelanjutan. Kekuatan awig-awig yang mengatur sistem pengelolaan bersama tersebut merupakan suatu kesadaran kolektif dari masyarakat. Peran masyarakat nelayan dalam pembentukan awig-awig sangat besar dibandingkan pemerintah.
Semakin menurunnya hasil tangkapan ikan akibat aktifitas penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka masyarakat nelayan menghendaki suatu aturan yang tegas dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, sehingga dapat menciptakan kelestarian sumber daya dan peningkatan penghasilan masyarakat nelayan. Permasalahan-permasalahan yang kerap muncul dan menjadi bahan perbincangan masyarakat nelayan tersebut, langsung disikapi oleh pihak pimpinan kelompok untuk ditindaklanjuti di tingkat skala kecil yaitu dengan cara menyelenggarakan diskusi kelompok nelayan. Sehingga dalam pembentukan awig awik berawal dari tahap informal yaitu berawal dari omongan omongan, kemudian berlanjut pada tahap musyawarah antar warga hingga terbentuk sebuah kesepakatan untuk membentuk aturan dan diperkuat dengan campur tangan pemerintah darah dalam bentuk peraturan daerah.
3.    Awig awig sebagi kearifan budayan lokal
Dalam proses pembentukan awig-awig banyak mengadopsi aturan-aturan lokal sehingga dalam pelaksanaannya mempunyai variabel pokok yang hampir sama dengan hak ulayat laut, yaitu wilayah, unit sosial pemegang hak dan legalitas beserta pelaksanaanya. Bahkan lebih dari pada itu, terbentuknya awigawig diilhami oleh kegiatan upacara adat menyawen sehingga dalam pembentukan hingga pelaksanaan masih dipengaruhi oleh unsur-unsur sosial budaya masyarakat setempat.
Kegiatan penangkapan ikan di wilayah awig-awig bersifat individual. Artinya, setiap orang berhak untuk melakukan kegiatan penangkapan asalkan alat-alat yang digunakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada zona awig-awig. Sementara untuk nelayan luar yang melakukan penangkapan harus mempunyai izin dari Dinas Kelautan Perikanan Lombok Barat. Apabila nelayan melanggar peraturan yang telah dibuat ole daerahnya sendiri, nelayan tersebut akan mendapatkan denda dan sanksi. Pemberlakuan awig-awig berguna untuk meminimalisir terjadinya permasalahan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan laut akibat aktivitas nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan serta menghindari konflik yang menimbulkan kerugian dipihak nelayan kecil, yang disebabkan oleh beroperasinya alat tangkap skala besar yang mampu menangkapikan dalam jumlah besar di zona 3 mil.
4.    Peranan Awig-awig Masyarakat Lombok
a.    Awig awig sebagai penyelesai konflik masyarakat lombok
Dalam kasus ini, dapat dilihat bahwa ternyata aturan-aturan yang dibuat pemerintah tanpa mempertimbangkan konteks sosial di daerah ini mampu menciptakan instabilitas. Dengan sistem desentralistik saat ini, Lombok bangkit untuk memperbaiki sumber daya kelautan dan perikanannya melalui pembuatan awig-awig. Awig-awig adalah aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama demi menciptakan ketertiban. Dimana diketahui bahwa di wilayah ini sering terjadi konflik sebelum awig-awig diberlakukan. Menurut sudut pandang sosiologi hukum, hukum yang dibuat harus melihat segala bentuk aturan yang berkembang di masyarakat itu sendiri, harus adil dan tidak memihak. Sebelum awig-awig dibuat, masyarakat Lombok masih menggunakan aturan dari pemerintah yang dirasakan sangat memberatkan dan memihak pada pemerintah dan penguasa sehingga terjadilah banyak konflik dan peningkatan kerusakan ekosistem air laut. Oleh karena itu, produk hukum harus betul-betul melihat konteks sosial di masing-masing wilayah agar efektivitas hukum dapat berjalan dengan baik bukan malah mempersulit masyarakat. Karena pada dasarnya hukum berfungsi sebagai alat kontrol sosial untuk mempermudah dan menciptakan ketertiban di dalam masyarakat.
b. Awig awig sebai pengatur sistem perikanan berkelanjutan
            Dalam pelaksanaanya Awig awig bisa dikatakan sebagai sistem hukum adat yang lebih kuat kedudukanya dibandingkan hukum Negara . Karena dalam penegakannya semua unsur masyrakat ikut ambil bagian dalam pengawasan pelaksanaanya, masyarakat tidak merasa terpaksa dengan aturan tersebut karena memang hukum yang diterapkan di angkat berdasarkan atas kesadaran, kesepakatan dan kemauan masyarakat setempat. Awig awig berperan dalam pengolahan sistem perikanan berkelanjutan karena berperan dalam menjaga Ekosistem Laut. Hal hal yang di atur oleh awig awig seperti : tidak boleh menebang hutan bakau, merusak terumbu karang, menggunakan alat tangkap yang merusak, menggunakan sianida, dan larangan melakukan kegiatan perikanan pada wilayah yang telah di tetapkan.
5.    Sangsi bagi pelangar awaig awig
pelaksanaan awig-awig ditegakkan secara tegas oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Barat (LMNLB) yang mempunyai sanksi, pertama denda meteri maksimal Rp 10.000.000,00; kedua pembakaran alat tangkap dan ketiga pemukulan massa namun tidak sampai mati. Meskipun sangsi yang diterapkan sangat tegas akan tetapi masih ada orang yang melanggarnya. Seperti yang tertara pada tabel berikut.


Kesimpulan
a.    Awig Awig adalah kearifan lokal masyarakat lombok yang mengatur sistem perikanan yang memiliki sangsi bagi setiap pelanggaran.
b.    Terbentuknya awig awig meerupakan prosas kesadaran masyarakat pesisir masyarakat lombok barat yang disebabkan oleh rusaknya ekosistem perairan laut. Sehingga awig merupakan wujud strategi adaptasi masyarakat nelayan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Terbentuknya awig awig didasarkan atas dasar masalah pokok masyarakat yaitu banyaknya konflik yang terjadi. Konflik tersebut muncul karena perubahan ekologi, demografi, mata pencaharian, perbedaan teknolgi alat tangkap dan proses distribusi pasar.
c.    Dengan adanya awig awig mampu meminimalkan konflik yang terjadi. Baik konflik antar nelayan lokal maupun dengan nelayan dari luar yang disebaban karena adanya perbadaan teknologi alat tangkap yang beroprasi  wilayah tangkap.





Daftar pustaka

Share this: